Islamiyah masih berselimut
embun, gerbang biru itu seolah satpam, terbuka sedikit.
burung-burung asik menata sangkar di celah-celah genting kantor yang berwarna hijau
kebiruan, Gemerincik sapu lidi terdengar seakan memberi irama untuk menyambut kedatangan
ku. Ia terlihat sibuk membersihkan halaman,
tubuhnya yang terbilang tinggi dan sedikit kurus di balut kaos pendek berwarna
putih dan celana panjang berwarna abu-abu. Aku menyapa dengan hangat dan menjabat tangannya,
otot di tangannya terlihat cukup jelas seperti biru memar. Ia
memunguti sampah yang berserakan di lapangan, bagai daun
dimusim gugur. Ia mengambil sampah yang sudah tertimbun
tanah akibat hujan. Budaya peduli lingkungan seperti membuang sampah pada tempatnya
cukup sulit dilakukan, padahal disetiap kelas sudah tersedia
tempat sampah. Sampah dikumpulkan lalu dibakar. Asap seperti menampar mukanya, ia
mengusap-usap jenggot dan kumis tipisnya. Dahinya di kerutkan mata kecoklatan di bawah alisnya yang
rimbun terlihat kemerahan karna asap dari pembakara. Kemudian Ia membersihkan semua WC berkeramik biru muda. baunya amat
menyengat tapi Ia terlihat biasa saja. Keadaan masih pagi, dua bola hitam ku
menyelidik setiap kelas belum ada penghuni masih sepi, rumput-rumput gemerincik
tertiup angin, hijau dan amat segar. Tembok bercat hijau tua dan muda seakan
tak sabar menunggu canda tawa dari siswa-siswi, mereka mulai berdatangan. Motor
berjejer rapih di depan setiap kelas, Islamiyah yang sangat sederhana ini belum
punya parkiran khusus. Kelas XII IPS 1 sebelah timur tepat berhadapan dengan
kantor terletak diantara kelas Tsanawiyah
dan Aliyah. Kelas ini untuk Tsanawiyah tapi karna keterbatasan, jadi
kelas ini ditempati siswa Aliyah.
Kursi dan meja adalah sisa-sisa dari kelas lain, yang sudah rusak lalu diperbaiki.
Tembok bercat orange sudah mulai luntur banyak coretan dan jejak sepatu hasil
karya anak-anak yang terlalu kreatif. Dengan white board yang sebagian terkelupas di atasnya terdapat gambar
pancasila, terletak diantara presiden dan wakil presiden, serta jam bundar yang
setia menghitung menit-menit perjuangan kami. Cahaya matahari menerobos lewat
celah-celah genting dan jendela sebelah timur yang hanya anyaman kawat membentuk
layang-layang ukuran 4 cm disetiap anyamannya serta satu gorden merah hati yang
menutuip kedua jendela sedikit menghalangi cahaya matahari. Tak ada pelapon
disini apalagi AC yang ada hanya AC alam. Suara sumbang dari kelas lain
terdengar membuat konsentrasi belajar terganggu. Semakin lama minat belajar ku
semakin turun, aku haus motivasi dan fasilitas. Aku haus perpustakaan,
laboratorium dan lainnya. Tapi mau bagaimana lagi beginilah keadaanya. Sudah
jam 09:30 tapi belum ada satu gurupun yang mengajar, kelas gaduh sangat berisik
seperti konser yang menggelegar. Aku menyendiri saja di pojok kelas, menulis
cerpen untuk perlombaan. Duduk di ubin coklat yang berlapis debu dan sedikit
tanah yang dibawa dari jejak sepatu kala hujan. Posisi kursi sedikit kedepan
memberi jarak sekitar 1 meter dari tembok belakang. Aku keluar kelas. Dari kejauhan
senyum khas itu tergambar pada air mukanya, disertai dengan tatapan teduh. Pak
Kusnadi kepala sekolah MA mengontrol setiap kelas aku menghampiri dan mencium tangannya, terasa lembut seperti tutur katanya.
“Assalamu’alaikum”
“Wa’alaikum salam”
“aya, kenapa mukamu terlihat
murung, ada masalah?”
“ia pak”
“masalah apa?”
“pak sebenarnya aya ragu,
apakah aya bisa memenangkan perlombaan cerpen ini, sedangkan cerpen yang aya
buat ini jauh dari baik, lombanya di universitas lagi, di SMA serang
anak-anaknya pinter buat cerpen. aya minder pak”
“aya berusahalah, berikan yang
terbaik buat islamiyah kalau aya ragu minta pada Allah supaya keraguan itu
dihilangkan. Jangan kalah sebelum berperang, pokonya kamu tetap semangat. oke”
“makasih ya pak.”
“ia, tapi ingat jangan minder
walau sekolah ini mewah, mepet sawah”
Pintu kelas
ini berwarna coklat dipenuhi curahan hati yang tak tersampaikan, perlahan
terbuka. Tatapan penuh harap terlukis dari bahasa wajahnya yang bersih,
senyumnya menyejukkan kulit putih yang masih segar, cara bicaranya tenang namun
meyakinkan. Tubuhnya yang kurus dan tinggi membuat rambutnya hampir menyentuh
palang pintu. Menatap kami dengan harapan besar, ia memberikan motivasi pada
kami, motivasi yang paling ku ingat adalah
“semangat...semangat…dan
semangat….lulusan Madrasah Aliyah Islamiyah bisa masuk perguruan tinggi, tidak
ada yang tidak mungkin selama kita memiliki DUIT (Do’a Usaha Iman Tawakal)”
Cukup sulit masuk perguruan
tinggi, apalagi islamiyah terbilang sekolah yang seadanya, keadaan ekonomi
siswa-siswinya dari menengah kebawah. Aku menyimak dengan serius, semangat ku
untuk kuliah dan mengejar cita-cita menjadi guru besar bahasa Indonesia serta
novelis dunia semakin menggebu. Motivasi yang beliau sampaikan seperti
mendera-dera semangat ku.
Di luar air memecah bendungan langit, guntur
menggelegar membelah langit kelabu. Hawa dingin menusuk
pori-pori kulit, mukaku terasa beku. Air dari sawah mengalir ke
Islamiyah, selokan yang ada di depan kantor tertutup sampah sehingga menyumbat
aliran air, airpun membanjiri sampai lutut. Tanpa ragu Ia membersihkan sampah-sampah
dengan tangannya, mengambil sebilah bambu dan mendorong sisa sampah yang
menutupi saluran air, Ia terpeleset dan jatuh hingga sikunya berdarah.
Sementara yang lain hanya menyaksikan, tak ada raut kesal di wajahnya. Ia basah
kuyup tapi nampaknya tak peduli. Kesedihan terlukis di wajahnya, peristiwa ini
pertama kali terjadi selama Islamiyah berdiri sejak tahun 1999. Akibat
penampung air yang ada di depan sekolah sebelah utara ditutup dengan tanah oleh
pemilik baru untuk dibuat Mini Market.
Ia melaksanakan amanat untuk menjadi kepala sekolah Tsanawiyah dan memelihara
sekolah ini. Adzan berkumandang Ia bergegas membersihkan diri untuk
melaksanakan kewajibannya sebagai orang Islam.
Ia menengadahkan tangannya berdo’a pada sang kholik memohon rahmatnya tercurah
untuk keluarga besar Islamiyah dan ayahnya almarhum KH. Buang pendiri sekaligus
pahlawan islamiyah tanpa tanda jasa.
Karya Siswa Ma Islamiyah : Muhayah